Profil Desa Karangrejo
Ketahui informasi secara rinci Desa Karangrejo mulai dari sejarah, kepala daerah, dan data lainnya.
Tentang Kami
Profil Desa Karangrejo Borobudur, rumah bagi ikon global Gereja Ayam Bukit Rhema. Menjelajahi model wisata komunitas "Klipo", potensi agrowisata Kopi Menoreh, peran BUMDes, dan data demografi desa di jantung perbukitan Magelang.
-
Rumah Ikon Arsitektur Dunia
Desa Karangrejo merupakan lokasi berdirinya Gereja Ayam (Bukit Rhema), sebuah bangunan unik yang telah menjadi destinasi wisata global dan magnet utama di perbukitan Menoreh.
-
Pelopor Wisata Berbasis Komunitas (Klipo)
Desa ini mengembangkan model pariwisata "Klipo" yang otentik, di mana wisatawan diajak mengunjungi kelompok-kelompok warga untuk melihat dan terlibat langsung dalam aktivitas ekonomi harian mereka.
-
Sentra Agrowisata Perbukitan Menoreh
Karangrejo menjadi pusat agrowisata yang menonjolkan produk-produk unggulan lereng Menoreh, seperti Kopi Menoreh, gula kelapa, madu, dan aneka olahan singkong.
Jauh di atas lembah Candi Borobudur, tersembunyi di antara lekuk hijau Perbukitan Menoreh, Desa Karangrejo, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, telah menuliskan takdir pariwisatanya sendiri dengan cara yang luar biasa. Jika desa-desa lain di dataran rendah menawarkan kedekatan fisik dengan candi, Karangrejo menawarkan sesuatu yang berbeda: sebuah ikon arsitektur sureal yang mendunia dan sebuah jendela otentik ke dalam denyut nadi kehidupan masyarakatnya. Sebagai rumah bagi "Gereja Ayam" Bukit Rhema dan pelopor model wisata berbasis komunitas "Klipo", Karangrejo telah bertransformasi menjadi destinasi yang memadukan keajaiban buatan manusia dengan kearifan lokal yang mendalam, membuktikan bahwa pariwisata dapat menjadi alat ampuh untuk pemberdayaan masyarakat dari akarnya.
Sejarah dan Lanskap: Dari Tanah Makmur ke Panggung Global
Nama "Karangrejo" berasal dari gabungan kata "Karang" (pekarangan atau lahan) dan "Rejo" (makmur), sebuah nama yang mencerminkan sejarah panjang desa ini sebagai wilayah pertanian yang subur dan sejahtera. Terletak di kontur perbukitan Menoreh yang menantang namun subur, masyarakat Karangrejo secara turun-temurun menggantungkan hidupnya pada hasil bumi, terutama kopi, cengkeh, kelapa dan palawija. Lanskap desa ini didominasi oleh perkebunan rakyat yang dikelola secara tradisional, menciptakan pemandangan terasering hijau yang menyejukkan mata.Titik balik sejarah modern Desa Karangrejo terjadi ketika sebuah bangunan unik di puncak Bukit Rhema, yang lama terbengkalai, mulai menarik perhatian publik. Bangunan yang oleh masyarakat lokal dijuluki "Gereja Ayam" karena bentuknya yang menyerupai ayam duduk ini mulai viral di media sosial dan diliput oleh media internasional. Sejak saat itu, desa yang tadinya sunyi ini sontak berada di peta pariwisata dunia. Kunjungan wisatawan yang membludak menjadi katalisator bagi masyarakat dan pemerintah desa untuk secara serius menata dan mengelola potensi luar biasa yang mereka miliki, mengubah wajah desa dari komunitas agraris tertutup menjadi destinasi wisata yang terbuka dan dinamis.
Kondisi Geografis dan Demografi
Desa Karangrejo menempati area seluas kurang lebih 4,50 kilometer persegi di sisi barat kawasan Candi Borobudur. Wilayahnya yang berada di ketinggian menawarkan udara sejuk serta pemandangan spektakuler ke arah lembah Borobudur dan pegunungan di sekitarnya. Berdasarkan data kependudukan per September 2025, desa ini dihuni oleh sekitar 4.800 jiwa. Tingkat kepadatan penduduknya relatif rendah, mencerminkan karakteristik permukiman yang tersebar di antara lahan-lahan perkebunan.Adapun batas-batas wilayah Desa Karangrejo ialah sebagai berikut:
Berbatasan dengan Desa Ngargogondo.
Berbatasan dengan Desa Tanjungsari dan Desa Giritengah.
Berbatasan dengan Desa Majaksingi.
Berbatasan dengan wilayah Kabupaten Kulon Progo, DIY.
Struktur demografi dan mata pencaharian warga menunjukkan diversifikasi ekonomi yang kuat. Meskipun pertanian tetap menjadi jiwa dari desa ini, sektor pariwisata kini telah menjadi mesin penggerak ekonomi utama. Hampir setiap keluarga di beberapa dusun utama, seperti Dusun Gombong dan Dusun Kretek, terlibat dalam ekosistem pariwisata, baik secara langsung maupun tidak langsung. Mereka berperan sebagai pengelola objek wisata, pemandu lokal, pemilik homestay, operator jip wisata, hingga produsen UMKM yang produknya diserap oleh pasar wisatawan.
Magnet Utama: Pesona Unik Gereja Ayam di Puncak Bukit Rhema
Tidak diragukan lagi, daya tarik utama yang melambungkan nama Karangrejo ke panggung dunia ialah Gereja Ayam. Bangunan yang sejatinya dirancang oleh penciptanya sebagai rumah doa bagi segala bangsa dengan bentuk merpati bermahkota ini telah menjadi ikon yang wajib dikunjungi. Arsitekturnya yang unik dan lokasinya di puncak bukit menciptakan pengalaman sureal bagi para pengunjung. Dari bagian "mahkota" bangunan, wisatawan dapat menikmati pemandangan 360 derajat yang menakjubkan, mencakup siluet Candi Borobudur, Gunung Sumbing, Merapi, Merbabu, dan hamparan hijau perbukitan Menoreh.Keberadaan destinasi ini dikelola secara profesional oleh masyarakat lokal di bawah naungan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Pengelolaan ini menciptakan siklus ekonomi yang luar biasa. Pendapatan dari tiket masuk, parkir, dan sewa kios di area Bukit Rhema menjadi sumber pendapatan signifikan yang digunakan untuk membiayai pembangunan desa dan program pemberdayaan masyarakat. Sebuah ekosistem usaha mikro pun tumbuh subur di sekitarnya, mulai dari warung makan, toko suvenir, hingga jasa ojek dari area parkir bawah ke puncak.
Wisata Klipo: Jendela Otentik Kehidupan Masyarakat Desa
Jika Gereja Ayam adalah magnet penarik massa, maka "Wisata Klipo" adalah jiwa dari pariwisata Karangrejo. Ini merupakan sebuah konsep brilian pariwisata berbasis komunitas yang membedakan Karangrejo dari desa wisata lainnya. "Klipo" merupakan akronim dari Kelompok Swadaya Masyarakat, yang merujuk pada kelompok-kelompok warga yang memiliki usaha atau aktivitas sejenis. Konsep turnya sederhana namun sangat mendalam: wisatawan diajak berkeliling desa, sering kali menggunakan mobil VW Safari, untuk singgah dan berinteraksi langsung dengan klipo-klipo ini.Pengalaman yang ditawarkan sangat otentik. Wisatawan dapat mengunjungi klipo pembuat gula kelapa dan melihat proses penyadapan nira hingga memasaknya menjadi gula cetak atau gula semut. Di klipo lain, mereka dapat belajar tentang proses pengolahan kopi Menoreh, mulai dari memetik, menjemur, menyangrai secara tradisional, hingga menyeduhnya. Ada pula klipo perajin olahan singkong, madu klanceng, dan jamu tradisional."Melalui Wisata Klipo, kami tidak menciptakan atraksi buatan. Kami hanya membuka pintu rumah dan kebun kami agar wisatawan bisa melihat kehidupan kami yang sesungguhnya. Ini adalah cara kami berbagi budaya sekaligus mendapatkan manfaat ekonomi secara langsung," terang salah seorang koordinator pemandu lokal. Model ini memastikan bahwa pariwisata tidak menggerus, melainkan justru memperkuat, aktivitas ekonomi tradisional masyarakat.
Peran Sentral BUMDes dalam Orkestrasi Pariwisata
Keberhasilan Karangrejo dalam mengelola dua pilar pariwisatanya tidak lepas dari peran sentral BUMDes Giri Rejo. BUMDes ini bertindak sebagai orkestrator utama, mengelola aset vital seperti Bukit Rhema, dan pada saat yang sama, membina dan mengoordinasikan jaringan Wisata Klipo. Mereka menetapkan standar pelayanan, mengatur alur kunjungan wisatawan, dan yang terpenting, memastikan distribusi pendapatan yang adil di antara anggota masyarakat yang terlibat.BUMDes juga aktif menjalin kemitraan dengan agen-agen perjalanan, operator tur, dan pengelola homestay untuk menciptakan paket-paket wisata yang terintegrasi. Inovasi terus dilakukan, seperti pengembangan aplikasi pemesanan digital dan pelatihan peningkatan kapasitas bagi para pemandu dan pelaku UMKM. Keberhasilan BUMDes Giri Rejo sering menjadi contoh studi bagi desa-desa lain di Indonesia yang ingin mengembangkan pariwisata berbasis komunitas secara berkelanjutan.
Tantangan dan Visi Agrowisata Terintegrasi
Di balik kisah suksesnya, Desa Karangrejo menghadapi tantangan yang signifikan. Popularitas Gereja Ayam membawa konsekuensi berupa kepadatan lalu lintas yang tinggi pada akhir pekan dan musim liburan, menuntut solusi manajemen transportasi yang lebih baik. Menjaga otentisitas Wisata Klipo dari jebakan komersialisasi yang berlebihan juga merupakan pekerjaan rumah yang berkelanjutan. Selain itu, sebagai desa di wilayah perbukitan, mitigasi risiko bencana alam seperti tanah longsor dan pengelolaan sumber daya air menjadi isu krusial.Visi masa depan Karangrejo ialah menjadi pusat agrowisata terintegrasi yang terkemuka. Ini berarti tidak hanya menawarkan tur singkat, tetapi juga pengalaman menginap (live-in) di mana wisatawan dapat tinggal bersama penduduk, ikut berkebun, dan merasakan siklus kehidupan desa secara penuh. Penguatan branding untuk produk-produk unggulan seperti Kopi Menoreh Karangrejo di pasar yang lebih luas juga menjadi prioritas, sehingga pariwisata dan pertanian dapat saling mengangkat.
Penutup: Sintesis Keajaiban Arsitektur dan Kearifan Lokal
Desa Karangrejo adalah bukti nyata bahwa pariwisata dapat memiliki banyak wajah. Ia berhasil menyandingkan pesona sebuah arsitektur modern yang ajaib dan mendunia dengan kehangatan dan otentisitas kearifan lokal yang mengakar. Sintesis antara yang spektakuler (Gereja Ayam) dan yang substantif (Wisata Klipo) inilah yang menjadi kekuatan utama Karangrejo. Desa ini tidak hanya menjual pemandangan atau produk, tetapi juga pengalaman, interaksi, dan cerita. Dengan terus menjaga keseimbangan ini, Karangrejo tidak hanya akan bertahan sebagai destinasi populer, tetapi juga akan berkembang sebagai model pariwisata berkelanjutan yang menempatkan manusianya sebagai jantung dari segala denyutnya.
